PT Freeport Indonesia merupakan perusahaan penambangan emas yang berada di Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Industri ini memiliki luas wilayah kurang lebih 23.000 Ha dan sampai saat ini PT Freeport Indonesia telah melakukan ekplorasi di Papua terhadap dua tempat yaitu, Tambang Ertsberg (1967-1988) dan Tambang Grasberg (1988-sekarang). Keberadaan PT Freeport Indonesia tidak terlepas dari politik akomodatif negara terhadap rezim tambang multinasional. Paradigma pembangunan yang ingin dikejar oleh pemerintah, menjadikan pemerintah gelap mata dan memasrahkan sumber daya alam yang dimiliki negara kepada pihak asing.
PT Freeport Indonesia hanya menambah pendapatan pemerintah pusat sebesar US$3,4 milyar (sampai dengan Desember 2013) dan pemerintah daerah sebesar US$7,7milyar (dalam bentuk infrastruktur). Pendapatan yang diperoleh pemerintah terbilang tidak sebanding dengan banyaknya sumber daya alam (berupa emas,perak,dan tembaga) Indonesia yang dieksploitasi oleh PT FI dan biaya kerusakan dan pencemaran lingkungan yang harus ditanggung oleh pemerintah. PT FI hanya menyumbang devisa yang sangat kecil bagi negara jika dibandingkan dengan pendapatan perusahaan selaku pengelola sumber daya alam dan negara Indonesia. Karena pertama, selama masa kontrak karya I sekitar 30 tahun terhitung dari tahun 1967-1991 perusahaan tidak membayar royalty sedikitpun kepada pemerintah Indonesia dan pada kontrak karya II perusahaan baru membayar royalty, royalty yang diberikan pun terbilang sangat sedikit, yaitu sebanyak 1-3,5% untuk tembaga dan 1% float fixed untuk logam mulia seperti emas dan perak.
Untuk itu pemerintah Indonesia berusaha untuk menasionalisasi secara bertahap PT FI agar Indonesia bisa merasakan hasil dari sumber daya alam milik Indonesia sendiri. Nasionalisasi PT FI sendiri dilakukan dengan mengambil alih saham sebesar 51 %. Awalnya pemerintah Indonesia hanya memiliki saham sebesar 9,36 %. Dengan usaha yang cukup alot dan memakan waktu selama enam bulan pemerintah Indonesia bernegosiasi dengan Freeport McMoRan (FCX) yang tercatat memiliki 90,64 persen saham PT FI. Untuk meyakinkan FCX, pemerintah Indonesia memberikan jaminan berupa jaminan operasional , jaminan fiskal,jaminan kontrak, serta jaminan stabilisasi investasi. Dengan proses tersebut akhirnya FCX mau memberikan saham kepada pemerintah Indonesia sebesar 51 %.
Untuk merealisasikan kepemilikan 51 persen saham PT FI, pemerintah menugaskan PT Inalum (Persero) selaku induk perusahaan (holding) BUMN industri pertambangan. Selanjutnya dilakukan perundingan terkait harga dan struktur transaksi antara Inalum, FCX dan Rio Tinto yang memiliki hak partisipasi sebesar 40 persen. Hasilnya, valuasi 51 persen saham tersebut disepakati sebesar USD 3,85 miliar atau setara Rp 57,3 triliun dengan menggunakan kurs bergerak di kisaran Rp 14.900 per USD.
Pemerintah harus menunjukan sikap tegas kepada penambang asal Amerika Serikat tersebut. Jangan sampai dengan meningkatnya saham sebesar 51 % tetap merugikan negara. Inalum harus menguasai proyek PT FI dan memastikan adanya transfer ilmu pengolahan PT FI dari FCX kepada Inalum agar saat 2041 kontrak FCX di Indonesia telah habis, Inalum dapat mengolahnya dengan baik dan benar
sumber : medcom.id