Ngopi, dikenal juga sebagai Ngobrol Pintar, adalah tempat para pemikir muda ngobrol-ngobrol topik panas sambil menikmati kopi manis yang sama panasnya. Ngopi juga merupakan suatu acara rutin yang diselenggarakan oleh LPM Gema Keadilan. Ngopi saat ini sangat seru, karena Freeport menjadi topik sangat panas yang dibicarakan dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Topik Ngopi kali ini adalah “Penolakan Implementasi IUPK oleh Freeport.” Dari sudut pandang hukum, Prof. Dr. F. X. Djoko Priyono, S.H., M.Hum hadir; pemerintah diwakili oleh Dinas ESDM Jawa Tengah, Ir. Achmad Gunawan; dan Rinal Khaidar Ali, S.T., M. Eng yang memberi pandangan dari sisi engineering.
Ngopi, yang bertempat di ruang H.302 Gedung Satjipto Rahardjo Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini, dimulai dengan adanya forum diskusi dalam kelompok-kelompok kecil untuk membahas pertanyaan-pertanyaan pokok yang ingin dibahas dalam pemaparan materi. Di antaranya, topik yang paling banyak dibahas ialah untungnya perubahan Freeport dari kontrak kerja (KK) menjadi ijin usaha pertambangan khusus (IUPK) bagi masyarakat Papua.
Sebelum melihat keuntungan implementasi IUPK oleh Freeport bagi Papua, terlebih dahulu diperhatikan dampak Freeport memiliki KK dan IUPK. Bila Freeport mempunyai suatu kontrak, maka Freeport merupakan corporate atau perusaha asing yang sejajar dengan pemerintah. Prof. Djoko menjelaskan bahwa kerja sama antara Freeport dan pemerintah Indonesia seperti kerja sama antar universitas. Tidak ada pihak yang lebih penting atau lebih tinggi; kedua atau semua pihak memiliki kedudukan yang setara.
Dengan perubahan KK ke IUPK, kedudukan Freeport akan berubah. Freeport akan diwajibkan untuk mengajukan permohonan, alias harus menjadi lebih rendah dari Indonesia. Luasan serta lamanya KK juga berbeda dibandingkan dengan IUPK. Saat menandatangani KK, lama perjanjiannya bisa sampai 50 tahun. Lama KK adalah 30 tahun, namun dapat diperpanjang dua kali masing-masing selama 10 tahun. Luas total KK adalah 90000 hektar. Di lain sisi, IUPK memiliki batas paling lama yaitu 10 tahun, dan hanya bisa diajukan ulang dua kali lagi. Kemudian, luasan area yang diperbolehkan IUPK hanyalah 25000 hektar, maksimal. Dari pandangan atas, bangunan penunjang saja, seperti kantor dan helipad milik Freeport, telah melebihi luas 25000 hektar, plus area karyawan. Bila KK Freeport berubah menjadi IUPK, otomatis Freeport harus “memangkas” area tambang dan area kantor serta bangunan apapun yang menunjang.
Pak Rinal menjelaskan bahwa Freeport menggunakan dua sistem, yaitu open mining dan closed mining. Dalam sistem open mining, pertambangan dilakukan dengan cara mengeruk dari dasar, sedangkan dalam closed mining, pertambangan dilakukan melalui dan dengan menggunakan terowongan. Luas Freeport sudah jauh melebihi 25000 hektar; terlalu besar. Hal ini juga tidak dapat diatasi oleh memperdalam terowongan yang ada. Semakin dalam suatu terowongan, tekanannya akan semakin tinggi. Manusia tidak bisa melebihi batasan itu. Inilah yang menjadi alasan mengapa luas Freeport begitu besar.
Kontribusi perubahan KK menjadi IUPK pada masyarakat Papua? Pak Achmad memaparkan bahwa Freeport harus telah menandatangani atau mempunyai suatu rencana anggaran serta kontrak produksi. Hal ini menguntungkan masyarakat bila prosedurnya diikuti. Juga terdapat perbedaan pajak yang harus dibayarkan oleh Freeport kepada pemnerintah Indonesia pada perpindahan dari KK ke IUPK. Pajak IUPK lebih mahal dibandingkan dengan KK. Hal ini “membakar jenggot” Freeport. “Seakan Freeport mengatakan “Sama aja Indonesia usir kita! Bangunan saja sudah mencapai, malah melebihi dua puluh lima ribu [hektar]. Terus, ntar yang kudu disunat yang mana saja?” mimik Prof. Djoko sembari tertawa ringan.
Prof. Djoko menambahkan bahwa salah satu hal yang dipermasalahkan Freeport adalah ketidakselarasan Undang-Undang baru yang mengharuskan Freeport untuk mengubah kontraknya menjadi IUPK. Pada tahun 1967, Freeport menandatangani Kontrak Karya I yang mulai berlaku selama 30 tahun sejak mulai beroperasi tahun 1973. Kontrak Karya II mulai berlaku sejak 1991 dan berlaku 30 tahun dengan periode produksi yang akan berakhir pada tahun 2021. KK II memiliki kemungkinan untuk diperpanjang selama 2×10 tahun, yaitu sampai tahun 2041. Namun, muncullah UU baru pada tahun 2009. Apakah UU bisa dijadikan alasan hukum untuk membatalkan kontrak yang sedang berlangsung? Undang-Undang baru yang dimaksud adalah UU RI No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Bab 25 Pasal 169 huruf a dan b. Huruf a menjelaskan bahwa KK yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap berlaku sampai jangka waktunya berakhir, sedangkan huruf b menyatakan bahwa KK yang telah disebut pada huruf a harus disesuaikan dengan UU paling lambat 1 tahun setelah diterapkannya UU ini.
Apakah pada tahun 2009 Pemda bertentangan dengan UU? Perijinan pertambangan kini diharuskan diurus pada tingkat provinsi, maka yang mengurus adalah gubernur. “Dulu bupati [yang mengurus]; karena tingkatnya masih kabupaten atau kota,” jelas Pak Achmad. “Perijinan terbagi menjadi Kuasa Pertambangan dan Kontrak Kerja. Untuk sekarang, Freeport masuk KK.” Pak Achmad juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa macam wilayah pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). “Ijin [Kontrak Pertambangan] itu untuk masalah pertambangan. Dulu hanya eksplorasi dan eksploitasi dulu, sekarang eksplorasi dan operasi atau produksi. Ada perubahan. Yang jadi permasalahan di Freeport: ijinnya dikeluarkan tahun 60, 70-an selama 30 tahun. Lalu tahun 1991 sampai 2001. Dapat diperpanjang 2×10 tahun. Di Jateng saja ada 18 IUP yang membutuhkan 5 tahun untuk olah pasir besi seperti di Cilacap, dll. Pasir besi ini menjadi suplai untuk industri, tidak butuh pengolahan. Ini masalahnya. 5 tahun dari UU yang dikeluarkan tahun 2009, harusnya sudah ada pengolahan? Makanya [Freeport] harus bangun smelter di Gresik. Kenapa sampai sekarang Freeport seakan nggak mau beralih dari KK jadi IUPK? Karena ada kerugiannya. Sisi luas karya berkurang, ada batasannya. Dulu 25000. Eksplorasi cuma 9000. Kedudukan mereka juga akan berbeda. Sekarang jadi lebih tinggi di pemerintah.”
Kini, harus ada kewajiban-kewajiban diatur UU yang harus dilaksanakan oleh Freeport. Bila tidak dilaksanakan, Freeport dapat diberi penalti, atau ada peringatan. Kedudukan kuasa Freeport akan menjadi di bawah pemerintah sedangkan sekarang mereka masih setara. “Investasi juga akan jadi masalah. 51% nantinya ke Indonesia, sahamnya jadi milik nasional. ‘Kan mereka rugi!” ujar Pak Achmad.
Sumber: Delegasi crew Kinetika