Sinergi Pangan dan Energi Membentuk Ketahanan Bangsa

Untitled-2

                Mengacu pada UU No 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka  Panjang Nasional tahun 2005–2025, pembangunan iptek di Indonesia salah satunya diarahkan untuk mendukung ketahanan pangan dan energi. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu permasalahan di Indonesia adalah adanya kekurangan dalam hal ketersediaan pangan dan ketersediaan energi. Oleh karena itu, disusun pula peraturan yang khusus mengatur tentang ketahanan pangan dan energi diantaranya adalah UU No 18 Tahun 2012 tentang ketahanan pangan dan UU No 30 Tahun 2007 tentang ketahanan energi. Peraturan tersebut, selain dimaksudkan untuk membuat strategi penyediaan pangan dan energi nasional, juga untuk mendorong penguatan sistem inovasi teknologi terkait pangan dan energi dalam rangka pembangunan ekonomi yang berbasis pengetahuan.

Dalam UU Pangan No. 18 tahun 2012  menyebutkan prinsip atau asas penyelenggaraan pangan di Indonesia harus berdasarkan kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat, pemerataan, berkelanjutan, dan keadilan. Secara keseluruhan undang-undang pangan ini memaparkan tujuan utama negara adalah untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap sumber-sumber pangan dari luar. Hal ini memacu terjadinya berbagai upaya eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber pangan khususnya yang berbasis kemandirian sumber daya lokal yang ada di Indonesia.

Dalam UU Energi No. 30 Tahun 2007 menyebutkan bahwa sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut serta sumber energi lainnya. Diversifikasi energi atau penganekaragaman pemanfaatan sumber energi sangat diperlukan, khususnya untuk mendukung pembangunan nasional secara berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional. Oleh karena itu, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi penyediaan dan pemanfaatan energi tersebut wajib difasilitasi oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya serta diarahkan terutama untuk pengembangan energi baru dan energi terbarukan untuk menunjang pengembangan industri energi nasional yang mandiri.

Dalam rangka memadukan upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi, perlu dilakukan penelitian dan pengembangan sebuah sistem yang dapat diimplementasikan langsung di masyarakat. Salah satu sistem yang dikembangkan adalah Sistem Pertanian Terpadu atau disebut juga dengan Integrated Farming System. Ada banyak model yang dikembangkan dalam sistem tersebut, salah satunya diterapkan di UPT BPPTK LIPI Yogyakarta (seperti dalam gambar 1). UPT BPPTK LIPI Yogyakarta sudah menginisiasi kegiatan ini sejak tahun 2006 di beberapa wilayah diantaranya adalah di Belu – Nusa Tenggara Timur (Julendra dkk., 2007), Gunungkidul – D.I.Yogyakarta (Febrisiantosa dkk., 2007), Temanggung – Jawa Tengah (Febrisiantosa dkk., 2009), Wonosobo – Jawa Tengah (Wahono dkk, 2009), Banyumas – Jawa Tengah (Istiqomah dkk., 2010), Kaur – Bengkulu (Karimy dkk., 2013), Tanah Datar – Sumatera Barat (Damayanti dkk., 2013) dan wilayah lainnnya.

Dalam sistem tersebut, terdapat upaya untuk memadukan antara bidang peternakan, energi alternatif, pertanian organik, perikanan dan industri olahan pangan. Upaya untuk mendukung ketahanan pangan dalam sistem tersebut, nampak dalam penerapan bidang peternakan, pertanian organik, perikanan dan industri olahan pangan. Bidang industri olahan pangan mendukung terciptanya diversifikasi olahan pangan, sehingga masyarakat dapat menikmati produk-produk pangan yang lebih variatif.

Sedangkan upaya yang mengarah pada ketahanan energi terlihat pada pemanfaatan biogas. Setiap harinya hewan ternak sapi potong mengeluarkan kotoran segar sebanyak 5-8% dari berat tubuhnya. Kotoran dalam bentuk bahan kering yang dihasilkan setiap harinya 0,6 sampai 1,7% dari berat tubuh (Bewick, 1980). Sedangkan waktu tinggal kotoran sapi yang optimal dalam digester agar menghasilkan biogas dan pupuk organik berkualitas baik adalah 10-20 hari. Kotoran sapi yang dihasilkan dapat terkonversi menjadi biogas dengan konversi  300 kg kotoran ternak dapat menghasilkan 170 m3 biogas dalam waktu 60 hari (Febrisiantosa dkk., 2006), sehingga setiap kg kotoran sapi dapat terkonversi menjadi 0,01 m3 biogas per hari atau untuk menghasilkan 1 m3 biogas per hari memerlukan kotoran sapi sebanyak 100 kg atau sebanyak kotoran yang dihasilkan oleh 4-5 ekor sapi (Wahono, 2011). Biogas memiliki nilai energi 40-75% dari gas alam, setara dengan kadar metana dalam biogas tersebut.

Biogas dapat berfungsi sebagai akselerator dalam pembuatan pupuk organik yang dihasilkan dari kotoran ternak karena mempercepat konversi kotoran sapi melalui proses fermentasi anaerob. Selain sebagai akselerator, biogas juga menjadi fasilitator karena produk-produk biogas menjembatani/memadukan antar bidang yang ada dalam sistem tersebut. Produk gas yang dihasilkan merupakan sumber energi alternatif yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan operasional bidang pertanian, peternakan, perikanan dan industri olahan pangan.

Satriyo Krido Wahono, majalah Kinetika edisi 43, halaman 26

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *