Paralel
Oleh : Inke Mila Sari (Teknik Kimia 2017)
“Jadi…intinya kita berdua itu adalah orang yang sama yang kebetulan terlahir di waktu yang berbeda?”
Aku memutar bola mataku. Aku yakin sekali tidak lama lagi otot bola mataku akan putus meningat betapa banyak aku melakukan hal ini dalam sehari. Bagaimana tidak? Aku terlempar ke masa 300 tahun yang lalu dan bertemu diriku di masa lampau. Kalau kalian yang mengalami hal ini, aku yakin kalian juga akan melakukan hal yang sama denganku, atau mungkin kalian malah jadi gila?
Ya, semua orang pasti bisa gila setelah hilang di tengah hutan, terjatuh ke dasar sumur tua, terlempar ke masa lampau dan bertemu diri sendiri. Parahnya semua itu terjadi di hari yang sama.
Sungguh aku berharap bahwa semua ini hanya mimpi, tidak lama lagi aku akan terbangun oleh suara alarm. Kemudian semuanya kembali normal, aku kembali menjadi anak kuliah dengan kehidupan apatis yang biasa. Oh…sayangnya realita tak seindah ekspektasi. Tak peduli seberapa konyol, fiksi, dan mustahilnya kejadian yang kualami hari ini, semua ini memang nyata dan bukan mimpi seperti yang aku harapkan.
Masih segar di ingatanku ketika aku kebingungan mencari rombongan sesama pendaki. Lelah dan dehidrasi, berpikir bahwa sumur tua yang kebetulan kutemukan kala itu adalah secercah cahaya harapan dari surga. Namun, yang terjadi justru membuatku ingin mati saja. Tak lama setelah aku menemukan sumur itu, aku langsung berlari dan berharap bisa mendapat air yang berlimpah di dalamnya. Aku justru terjatuh ke dasarnya dan ditolong oleh seorang wanita misterius yang SANGAT MIRIP DENGANKU.
Terlihat ekspresi yang sama di wajahnya ketika mata kita saling bertemu. Iris hitam yang sama saling menatap, berusaha memecahkan misteri alam semesta yang tengah terjadi di antara kami. Aku ingat saat itu terjadi keheningan selama beberapa menit, bagai terasa seperti seumur hidup di antara kami. Sampai diriku yang lain itu membuka mulutnya dan bertanya, “Sampeyan sopo?”
Aku terdiam selama beberapa detik. Bukan karena aku tidak mengerti apa yang dia ucapkan. Aku tahu karena aku lahir di Purwokerto, orang Jawa tulen. Aku hanya masih terkejut dengan semua hal yang terjadi padaku waktu itu.
Kutarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan sebelum mulai berbicara.
“Namaku Dea, kamu bisa bahasa Indonesia kan?”
Percayalah bahwa rasanya sangat aneh berbicara seperti itu pada diri sendiri, tapi apa aku punya pilihan lain? Dia pun mengangguk. Di situ aku merasa sedikit lega karena walaupun aku lahir di Purwokerto, kemampuan bahasa Jawaku sangat di bawah rata-rata. Aku tumbuh besar di Jakarta yang notabene tidak menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Yang kutahu hanyalah kalimat-kalimat sederhana seperti apa, dimana dan siapa seperti yang ditanyakan si Aku tadi.
“Na-namamu siapa?”, tanyaku dengan suara yang masih bergetar.
“Wagiyah.” jawabnya singkat.
Wagiyah? Sungguh nama yang penuh dengan kearifan lokal. Rasanya aku ingin tertawa jika membayangkan kalau aku memakai nama itu. Pasti bakal jadi bahan ejekan teman-temanku dan seniorku. Tapi aku ingat bahwa sekarang bukan saat yang tepat untuk tertawa. Aku pun mulai bertanya lagi.
“Wagiyah, apa kamu tahu ini dimana? Hari apa? Tanggal berapa?”
Ya, itu adalah hal pertama yang kutanyakan karena aku sungguh bingung dan syok dengan semua keanehan ini. Selain, aku juga kehilangan jejak tentang waktu dan tempat dimana aku berada. Jadi, kenapa tidak bertanya saja?
“Semarang, 12 Jumadil Awal 1718, kenapa kamu tanya?”
Mulutku ternganga selebar-lebarnya. Nyawaku layak baru saja menghianatiku dan meninggalkan raga untuk menghindari semua masalah ini. 1718 ? Halo pada dunia ! Aku, Dea Retno Kinasih baru saja melakukan perjalanan waktu 300 tahun ke masa lalu? Wow, sangat wow.
Aku ingat setelah itu aku pingsan entah untuk berapa lama. Saat aku terbangun, Wagiyah sudah ada di sampingku, memberiku air dan sepotong singkong rebus yang terasa sangat lezat di mulutku. Mungkin karena aku sangat lapar. Setelah aku mulai tenang,aku dan Wagiyah pun berbicara dalam waktu yang lama. Hingga aku tak bisa mengingat detail dari apa yang kita bicarakan. Jelasnya, kami saling menceritakan tentang diri kami. Aku menceritakan pada Wagiyah kejadian yang aku alami dan Wagiyah memberitahuku hampir segalanya tentang dirinya. Dari apa yang ia katakan serta dari banyak buku fiksi yang sering kubaca, aku sangat yakin bahwa Wagiyah ini adalah diriku di masa lalu. Bisa dibilang aku adalah reinkarnasi Wagiyah. Lalu BOOM ! Di sinilah kita, Aku dan Wagiyah. Dua jiwa serupa yang seharusnya tidak saling bertemu, berdiri berdampingan dalam diam, menanti adanya jawaban dari sang Illah tentang apa yang sebenarnya.
“Kayaknya mending aku mati aja.” ujarku dengan ekspresi datar seolah nyawaku sudah tidak mendiami ragaku lagi.
Satu hal yang mebuatku semakin kesal hari ini adalah karena ternyata diriku yang lain ini sangat suka mentertawakan penderitaanku. Apakah ini yang dinamakan menertawakan diri sendiri? Haha, konyol.
“Apasih kamu ketawa-ketawa ? Lucu ?” ujarku kesal.
Wagiyah memiringkan kepalanya, ekspresi wajahnya menyiratkan kebingungan. Aku baru sadar kalau Wagiyah pasti tidak mengerti bahasa non formal yang kugunakan. Ish, situasiku jadi makin rumit.
“Tadi aku bertanya, kenapa kamu tertawa ?” jujur lidahku kelu ketika diharuskan berbicara formal.
“Tidak apa-apa, aku hanya berpikir kalau sikapmu itu justru mirip sekali dengan anak anakku dan bukannya aku.”, Wagiyah membalas.
Mulutku kembali terngaga lebar. Apa dia barusan bilang ANAK? Bukannya kami seumuran?
“Ka-kamu punya anak?” lagi-lagi aku tergagap.
“Aku punya tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan, yang kuceritakan tadi.” Wagiyah mengangguk
Tiga ?! Ingin ku berkata kasar! Kalau Wagiyah dan aku seumuran, itu berarti dia baru berusia 19 tahun, bagaimana bisa dia punya tiga anak ? Umur berapa dia menikah ?
“Kenapa kamu kaget ? Bukankah itu hal yang biasa ? Memangnya anakmu sendiri sudah berapa ?”, lanjut Wagiyah
Ingin ku berkata kasar lagi. Bagaimana mau punya anak ? Pacar saja tidak pernah punya. Aku pun kembali mengatur nafas, menenangkan pikiran sebelum kembali berbicara dengan Wagiyah.
“Aku belum menikah.” jawabku pelan.
Kini giliran mulut Wagiyah yang ternganga lebar. Di situ aku merasa sangat malu, padahal tidak seharusnya aku malu dengan kejombloanku, eh iya kan?
“Kalau di jamanku umur seperti kita ini belum waktunya menikah, Wagiyah.”, jelasku berusaha meluruskan kesalahpahaman antara kami.
Wagiyah pun mengangguk paham. Syukurlah, rasanya pasti aneh kalau dipermalukan oleh diri sendiri karena jomblo.
“Kamu sendiri bagaimana bisa tersesat di hutan?” kali ini giliran Wagiyah yang bertanya. Aku sedikit mengambil jeda. Sebelum menjawab pertanyaannya.
“Aku pergi hiking dengan teman-temanku, lalu aku terpisah dari mereka. Aku tersesat di hutan gunung itu dan sampai kemari.”, ucapku.
“Hiking? Apa itu?”, Wagiyah bingung. Aku lupa Wagiyah tidak mengerti bahasa seperti itu.
“Hiking itu naik gunung, biasanya dilakukan dalam rombongan yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.” aku menerangkan. Wagiyah kembali terlihat terkejut.
“Kalau aku biasanya pergi ke gunung untuk mencari ubi dan sayur-sayuran untuk dimakan anak-anakku dan dijual, kamu kan tidak punya anak, kamu juga tadi mengatakn kalau semua kebutuhan hidupmu sudah dicukupi oleh emak dan bapakmu, jadi kenapa harus pergi ke gunung? Bersama laki-laki pula.”, ujar Wagiyah.
Aku tidak pernah membayangkan akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari orang lain. Maksudku kita semua tahu di tahun 2018, hiking sangat populer. Hampir semua orang melakukannya walau hanya untuk berfoto ria di puncak gunung. Tiada yang memusingkan laki-laki dan perempuan pergi bersama. Bahkan tidur di tenda yang sama. Kenapa sekarang semua itu terasa sangat salah bagiku ? Apa karena Wagiyah adalah aku yang telah menjalani kehidupan jauh berbeda ?
“Umm…Wagiyah, tadi kan kamu bilang kamu pergi ke gunung hanya untuk mencari makan dan uang untuk anak-anakmu, memang suamimu kemana? Bukankah itu tugasnya?” tanyaku mencoba mengalihkan topik.
Entah aku salah bicara atau apa,tiba-tiba saja ekspresi Wagiyah berubah sendu.
“Suamiku sudah meninggal dua tahun yang lalu, jadi aku yang mengurus anak-anak dan ladang.” jawab Wagiyah dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
Dia pasti sedih karena mengingat suaminya. Aku pun mengutuk diriku sendiri dalam hati. Karena kebodohanku sekarang Wagiyah jadi sedih. Terlihat jelas air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Kehidupanmu kedengaran sangat menyenangkan, Dea. Jika dibandingkan dengan kehidupanku yang sulit dan menyedihkan ini. Mau makan saja susah, harus menanam sendiri, itupun diam-diam agar tidak ketahuan orang-orang putih itu. Aku juga harus membayar pajak ke mereka di kondisiku yang sekarang ini. Untuk makan sendiri saja susah, apalagi membayar pajak ke mereka ? Rasanya tidak sanggup hidup lagi. Tiap hari terasa bagai di neraka. Satu-satunya alasanku untuk bertahan hidup hanyalah anak-anakku, hanya karena mereka aku bisa tetap berjuang seperti ini.” air mata Wagiyah tak lagi dapat ia bendung. Ia menangis tersedu-sedu setelah mengungkapkan semua curahan hatinya.
Aku hanya bisa terdiam menatapnya dengan mata yang mulai perih karena menahan air mata. Aku yakin Wagiyah sangat menderita. Air matanya menyiratkan semua kesedihan dan penderitaan itu. Aku pun mengulurkan tanganku untuk mengusap air matanya, berharap hal itu bisa sedikit mengurangi kesedihannya.
Namun, belum juga tanganku mencapai wajah Wagiyah, tiba-tiba saja semua di sekelilingku menjadi gelap gulita. Aku tidak bisa melihat apapun. Suara tangisan Wagiyah juga sudah terdengar lagi. Satu-satunya suara yang kudengar sekarang adalah suara banyak orang yang memangil namaku.
“Dea, kamu nggak papa?”
“Ada yang luka nggak?”
“Gimana kamu bisa jatuh ke bawah sana?”
“Kamu bisa denger kita? Halo Dea?”
Aku hanya bisa mengerang kesakitan sabil memegangi kepala yang tiba-tiba terasa sangat sakit, seolah habis dihantam beban satu ton. Beberapa detik setelahnya aku baru sadar kalau yang di hadapanku bukan lagi Wagiyah, melainkan teman-temanku.
Jadi, semua itu hanya mimpi?Tidak! Aku yakin sekali itu bukan mimpi. Aku bahkan masih bisa merasakan singkong pemberian Wagiyah yang baru saja kumakan. Aku pun menceritakan semua kejadian yang kualami tadi pada teman-temanku, namun tak satupun dari mereka yang percaya. Mereka bilang aku hanya berhalusinasi karena kelelahan dan dehidrasi. Tidak ada yang percaya, bahkan juga orang tuaku.
Akhirnya aku memutuskan untuk menulis kisah Wagiyah di sebuah blog pribadiku. Aku berpikir bahwa kisahku bertemu Wagiyah harus diceritakan. Kisah antara dua jiwa yang sejatinya sama, namun berada di waktu yang berjauhan dan menjalani kehidupan yang sangat berbeda. Aku juga berpikir bahwa kisah perjuangan hidup seorang Wagiyah harus diketahui semua orang.
Meskipun negara kita ini sudah merdeka, masih banyak orang-orang yang menderita seperti Wagiyah. Banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Masih banyak ibu tunggal yang banting tulang mati-matian menafkahi anak-anak mereka. Masih banyak masyarakat yang kelaparan di kala sebagian dari kita hidup nyman dengan perut kenyang tanpa harus memikirkan “Besok harus bagaimana?” “Apakah besok saya bisa makan?” “Dimana saya harus tidur besok?”. Masih banyak juga pelanggaran norma-norma dan adab yang tidak sesuai dengan budaya sopan santun bangsa kita.
Entah siapa yang bisa merubah semua itu. Mengentaskan bangsa kita dari kemiskinan ekonomi dan kemiskinan moral. Bisa saja itu Dea masa depan, atau bisa saja orang itu adalah kalian, para pemuda calon pemimpin bangsa.
Dimuat di Majalah KINETIKA Edisi 52 “Nutraceutical” hal. 10-11