Langit Biru, Sawah Hijau, dan Perempuan Tercantik di Dunia

Kuceritakan sedikit alasan mengapa akhirnya kami hanya duduk berdua di sini, dalam salah satu gerbong kereta rel listrik yang melaju pelan dan berhenti di stasiun-stasiun untuk menaikkan atau menurunkan penumpang. Kami, sepasang bapak dan anak. Ia kuberi nama Baskara yang berarti matahari. Tentu dengan banyak harapan, salah satunya agar ia menyinari kegelapan hidupku, meskipun dirinya sendiri berada dalam dunia yang gelap.

Harusnya matanya tidak perlu ditutup lagi. Dokter sudah membuka perban itu pagi tadi. Tetapi keadaan sekarang cukup mengkhawatirkan, dokter  menganjurkan untuk tetap menggunakan penutup mata jika berada di luar ruangan. Katanya, takut terjadi hal yang bukan-bukan, infeksi atau lain sebagainya. Maka, sebagai seorang bapak yang gampang cemas, aku menuruti kata-kata dokter itu. Dan, malah agak berlebihan, aku tetap tidak membuka penutup matanya saat sudah berada di dalam kereta

Baskara lahir delapan tahun tiga bulan yang lalu. Lahir secara normal karena kondisi ibu dan bayi sama-sama sehat. Sama sekali tidak sempat dibawa ke rumah sakit karena istriku melahirkan di rumah dibantu oleh pembantu rumah tangga yang biasa kami panggil dengan sebutan Bibi. Bukan sembrono, hanya saja istriku tidak terlalu memerhatikan rasa sakit sebagai tanda kelahiran. Begitu ketuban keluar, dia bingung dan tidak sanggup lagi menahan diri terlalu lama. Untung Bibi cekatan. Dia langsung menolong mengikuti naluri alaminya sebagai ibu dan manusia.

Waktu itu aku sedang ada di kantor dan tidak terlalu sibuk. Aku segera meluncur pulang begitu mendapat telepon dari Bibi yang mengabarkan anak laki-lakiku sudah lahir. Sepanjang perjalanan pulang air mataku berderai haru. Aku sudah menjadi seorang bapak. Sebuah cita-cita paling penting bagi lelaki yang menikah.

Kebahagiaan itu ternyata hanya sebentar, selanjutnya mulai berdatangan kesedihan-kesedihan. Awalnya satu, tetapi kemudian menjadi sangat rumit dan istriku yang pertama kali memilih menyerah. Beberapa hari setelah kelahiran anak pertama kami, istriku menyadari satu keanehan di mata Baskara—yang saat itu belum sempat diberi nama. Aku juga menyadari itu. Keluarga besar juga.

Kami membawanya ke rumah sakit dan Baskara dipastikan mengalami kebutaan total. Godam besar mengguncang keutuhan keluarga kecil kami. Kulihat istriku sangat terpukul, dia jadi jarang bicara, dan parahnya tidak pernah mau menggendong Baskara barang sedetik pun. Dugaanku, dia terkena Baby Blues Syndrome, atau bisa juga karena kebutaan anak kami. Aku akhirnya mengikrarkan nama Baskara seorang diri, tanpa istriku, atau siapa pun. Bersama Bibi, aku mulai merawat Baskara. Istriku hanya berdiam diri dan bergaul dengan kebisuannya.

Tidak ada yang lebih kejam dari omongan orang. Kira-kira begitulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan keadaan saat itu. Dimulai dari tetangga, lalu teman-teman istriku, dan terakhir justru datang dari keluarga istriku sendiri. Kuakui keluarganya punya nama besar, tentu sangat memalukan jika memiliki keturunan yang buta. Aku meyakinkan istriku untuk tinggal dan menghadapi ujian itu bersama-sama, tetapi ia lebih memilih menyerah. Istriku pergi dari hidupku, meninggalkan satu-satunya kenangan yang tidak pernah dan tidak akan mungkin kubuang: Baskara.

Lalu aku mulai bercita-cita membuat Baskara bisa melihat dunia. Setelah merasa cukup mampu mengurus Baskara tanpa bantuan Bibi, aku menjual barang-barang, termasuk rumah. Aku memilih membeli rumah kecil yang hanya cukup untuk kami berdua saja. Segala sesuatu menjadi sederhana. Aku mengurus keperluan di rumah sakit agar Baskara bisa segera melakukan operasi kornea mata jika sewaktu-waktu kesempatan datang. Aku terpaksa berdoa agar ada orang berhati baik yang mati suatu hari.

Sampailah aku di titik ini sekarang. Semuanya sudah tuntas. Operasi Baskara berjalan lancar. Cita-citaku tercapai.

Tetapi aku masih belum membuka penutup matanya. Ada ketakutan-ketakutan lain yang…  sungguh… aku tidak mampu jelaskan. Dengan kondisi saat ini, aku khawatir dia kecewa. Aku terlalu banyak menceritakan keindahan yang nantinya tidak bisa ia dapatkan. Tentang langit biru, sawah hijau, dan perempuan tercantik di dunia.

“Bapak…” Baskara memanggilku. Aku menoleh. Kulihat tangannya meraba-raba kaca jendela. Wajahnya dipenuhi senyum ceria.

“Ini pasti yang disebut jendela kereta, kan? Coba buka tutup mataku, aku ingin lihat langit biru itu.”

***

Perban itu baru saja dibuka. Aku bahagia. Kulihat wajah Bapak pertama kali. Wajah letih yang akhirnya ikut ceria menatap senyumku. Pemandangan pertama yang menakjubkan. Ada beberapa orang lain, mungkin itu yang disebut sebagai dokter dan perawat.

Tetapi kemudian Bapak menutup lagi mataku, katanya aku belum bisa terlalu banyak melihat. Bapak bilang akan mengajakku naik kereta. Aku ikut saja. Apa pun itu, aku percaya Bapak sepenuhnya.

Selanjutnya yang kuceritakan akan selalu tentang ‘katanya’. Aku tidak tahu apa-apa, aku hanya akan menceritakan cerita yang diceritakan bapakku sebelum sekarang. Aku percaya bapakku bukan pembohong. Semua ceritanya adalah nyata. Aku yakin itu.

Beberapa bulan lalu aku susah tidur. Setiap malam selalu gelisah. Meskipun semuanya gelap, tetapi tubuhku tetap terjaga. Akhirnya Bapak menemaniku, menceritakan kisah-kisah indah tentang ‘jika aku bisa melihat suatu hari nanti’. Bapak bilang dirinya berjanji untuk itu dan akan segera mewujudkannya.

“Jika kau bisa melihat suatu hari nanti, Baskara, aku akan membawamu kepada perempuan tercantik di dunia ini. Kita tidak bisa semerta-merta langsung terbang menemuinya, kita harus naik kereta untuk sampai ke sana.”

“Apa itu kereta, Bapak?”

“Kereta itu kendaraan cepat yang bisa membawa kita ke mana saja. Nanti kau akan duduk dekat jendela dan bisa melihat keluar dari sana.”

Aku saat itu tidak mengerti apa yang Bapak maksud. Aku sama sekali tidak bisa membayangkan kata-katanya, tetapi dari suara Bapak, aku merasa sesuatu itu akan sangat menyenangkan dan indah.

“Dari sana kau akan melihat langit biru yang mendamaikan, ada awan-awan putih yang  membuat keindahan semakin sempurna.”

“Langit itu apa, Bapak?”

“Sesuatu yang di atas kepala kita,” Bapak menyentuh kepalaku, “tetapi tidak bisa kita sentuh karena terlalu jauh.”

“Biru itu apa, Bapak?”

“Biru itu sesuatu yang menenangkan. Kau akan mengerti ketika bisa melihatnya suatu hari nanti.”

Aku tidak mengerti, tetapi memahami suara Bapak yang ikut menenangkan.

“Nanti, kau juga akan melihat sawah hijau,” jari Bapak menggoreskan bentuk panjang-panjang berkali-kali sampai aku merasa garis-garis itu menumpuk di telapak tanganku, “begini bentuk padi yang membentuk sawah itu, dan hijau adalah sesuatu yang menyejukkan.”

Lagi-lagi aku tidak mengerti, tetapi suara Bapak ikut menyejukkan. Dan aku terlelap tiba-tiba.

***

Bus travel yang kutumpangi mendadak membatalkan perjalanannya. Semua itu disebabkan badai asap di siang hari yang membatasi jarak pandang, ditambah terik matahari yang justru membuat langit berwarna darah. Tidak gulita, tetapi tidak juga terang. Sopir tidak berani mengambil risiko, “Kita bisa celaka kalau terus lanjut,” begitu katanya.

“Lalu nasib kita bagaimana?” para penumpang lain protes.

“Tidak tau! Terserah. Coba kendaraan lain, kereta atau apa pun itu, yang pasti aku tidak berani lanjut!” ujar sopir itu dengan nada bicara yang kasar.

Maka, sampailah aku di gerbong kereta ini. Aku segera mencari tempat duduk sesuai nomor yang tertera di tiket. Setelah menemukan nomor yang tepat, duduklah aku berhadapan dengan seorang bapak dan anaknya yang matanya diberi penutup. Tidak seperti biasa, laju kereta pun sangat pelan. Lagi-lagi semua karena badai asap yang terjadi. Dalam hati aku mengutuk siapa pun orang yang membakar hutan dan menyebabkan badai asap berkepanjangan ini. Dari balik jendela kulihat suasana merah yang menyedihkan. Seharusnya langit terik, tetapi karena asap yang menutupi matahari, suasana menjadi semerah ini.

“Bapak…” anak itu memanggil bapaknya. Aku memerhatikan mereka, bapaknya seperti tidak asing di mataku. Kulihat tangan anak itu meraba-raba kaca jendela. Wajahnya dipenuhi senyum ceria, tetapi wajah bapaknya justru seperti cemas dan ketakutan.

“Ini pasti yang disebut jendela kereta, kan? Coba buka tutup mataku, aku ingin lihat langit biru itu.”

“Be… Belum boleh, nanti saja, ya,” ujar Bapak itu gugup.

“Bukankah tadi Dokter bilang mataku sudah boleh dibuka kalau di dalam kereta?”

“I… Iya… Tapi…”

Anak itu membuka tutup matanya sendiri. Bapaknya terlihat pasrah dan murung. Anak itu menatap ke luar jendela. Awalnya ia ceria, lalu tiba-tiba berubah sendu. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke dalam gerbong kereta, menatap sekeliling dengan antusias, lalu kembali menatap ke luar jendela. Keadaan di luar masih merah.

“Kenapa di luar sana gelap, Bapak? Mataku belum sembuh, ya? Mana yang disebut langit biru? Mana sawah hijau?”

Bapak itu diam sejenak. Sejurus kemudian ia mendekap tubuh anaknya, “Matamu sudah sembuh, hanya saja langit biru dan sawah hijau sedang tidur, makanya gelap. Kau tidur saja juga, ya?” suaranya terdengar putus asa.

Anak itu nelangsa penuh kekecewaan, kulihat ia sebenarnya ingin memberontak, tetapi lamat-lamat mengangguk juga. Dia pasrah begitu saja. Disandarkan kepalanya ke dada bapaknya.

Tiba-tiba mata kami bertemu. Aku dan bapak anak itu. Lalu matanya berkaca-kaca, entah mengapa air mataku justru meluncur begitu saja. Tangannya segera bersemangat mengguncang pundak anaknya, “Baskara, langit biru dan sawah hijau memang tidak ada, tapi lihatlah!”

Aku menyeka air mataku. Anakku menatap bingung. Lelaki yang pernah jadi suamiku itu berseru sambil menangis.

“Perempuan tercantik di dunia itu ada di sini sekarang!” (***)

Dalam Kepungan Jerubu 2019


Reani Retno lahir di Sumatera Utara, 4 September 1997. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara, saat ini aktif dalam komunitas Lingkar Basa sebagai penulis dan ilustrator.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *