Hilirisasi Industri Kakao (Theobroma cacao L.) di Indonesia

Infografis by Cindy Nabila Salim

Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Ghana dan Pantai Gading. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar dalam subsektor perkebunan setelah subsektor karet dan minyak sawit. Meskipun termasuk ke dalam produsen dan eksportir kakao terbesar, Indonesia juga melakukan impor kakao yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan kakao dalam proses pencampuran (blending) dan mendapatkan mutu cita rasa yang variatif.

Mutu kakao Indonesia tergolong rendah, terutama hasil produksi perkebunan rakyat. Hal ini disebabkan karena umumnya kakao yang diperdagangkan dari petani merupakan kakao non fermentasi. Selain itu, para petani pada umumnya tidak melakukan penyortiran dengan baik sehingga terdapat banyak kotoran dan kontaminan dalam kakao yang diperjualbelikan.

Pada tahun 2010, Kementerian Perindustrian menginisiasi program hilirisasi industri. Program ini dimaksudkan untuk mendapatkan nilai tambah produk bahan mentah, memperkuat struktur industri, menyediakan lapangan kerja, dan memberi peluang usaha di Indonesia. Apabila hilirisasi dilakukan dalam industri kakao, tentunya akan terjadi efisiensi biaya produksi karena hilangnya beberapa komponen biaya seperti pemasaran dan pendistribusian.

Hilirisasi industri pengolahan kakao diarahkan dalam produksi bubuk cokelat, lemak cokelat, makanan dan minuman dari cokelat, serta suplemen berbasis kakao. Hilirisasi industri kakao ini berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan perkembangan perusahaan pengelola kakao di Indonesia. Tren industri pengolahan kakao diprediksi akan terus membaik dari segi utilitas, produksi, dan penyerapan jumlah tenaga kerja. Hal ini didukung oleh laporan tahunan yang diterbitkan Kementerian Perdagangan, bahwa Indonesia telah bertransformasi atas peningkatan peringkat negara produsen kakao terbesar. Nilai investasi pada industri kakao di tahun 2018 pun mencapai Rp8,4 triliun.

Kebijakan hilirisasi industri dapat mengundang investor masuk ke dalam industri pengolahan kakao, namun tidak menurunkan besarnya impor kakao di Indonesia. Volume impor meningkat jauh dari 43,685 ton pada tahun 2011 menjadi 289,002 ton pada tahun 2018. Hal ini dapat terjadi akibat kurangnya volume produksi dan kualitas kakao lokal. Oleh karena itu, Indonesia dapat terus meningkatkan produksi kakao tanpa penambahan luas lahan kakao, yaitu dengan meningkatkan produktivitas pada setiap lahan kakao yang ada.


Sumber: journal.maranatha.edu https://journal.maranatha.edu/index.php/jam/article/view/2287

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *