Oleh: Erina Yuliana Dewi
London, 1997
London, the smoke city. Berkabut dan dingin.
Huft! Aku menghela napas panjang.
Perasaan resah ini sedikit demi sedikit mulai hilang. Aku mulai bisa menerima segala bentuk hinaan-hinaan dunia yang fana ini. Bak berada pada masa transisi manusia menjadi monster. Mengerikan dan menyedihkan. Langit biru yang penuh penyesalan menyambutku, berubah menjadi kelabu. Aktivitas Sungai Thames sama seperti biasanya dan sesekali perahu-perahu besar melintas. Kafe Blueprint masih ramai. Penuh dengan orang-orang yang hinggap dan berlalu. Aku mengalihkan pandanganku pada seseorang yang duduk bersebelahan denganku.
“Halo.” Sapanya dengan wajah keheranan.
“Oh, ha.. hai” jawabku pura-pura gagap.
“Apakah kau mengenaliku?”
“…kau menatapku cukup lama tadi.”
Entah mata atau hidung yang aku tatap. Aku tidak peduli.
“Ah, maaf. Aku tidak bermaksud apapun dan aku tidak mengenalmu.”
Aku beranjak dari tempat itu. Aku benci dengan sikap ramahnya. Monster selamanya akan tetap monster bukan?.
Aku ingat, saat itu. Saat kehidupan awalku bermulai. Hidup berdampingan dengan mereka. Ya, mereka, makhluk-makhluk yang selalu menghantuiku dengan wajah-wajah sok malaikat. Masa-masa yang sulit, bahkan lebih sulit dari memecahkan persamaan Helmholtz!.
“Halo semua, perkenalkan namaku Hope. Dan nama panjangku Hooopppeee!.”
Suasana pecah ketika aku menyebutkan namaku yang hanya satu kata saja. Seisi kelas penuh dengan tertawaan dan pukulan meja. Gaduh. Mereka juga mengenalkan diri mereka satupersatu.
“Namamu bagus Hope.” Puji guruku.
“Kamu bisa duduk di sebelah Varo.”
“…kamu harus mulai mengafal teman-temanmu ya Hope, karena kalian akan bersama dalam waktu yang lama. Kamu mengerti?.”
Aku bungkam.
Di mata orang lain mereka semua sangat berbeda. Namun, bagiku mereka terlihat sama, bahkan terlihat seperti tak berwajah. Perkenalkan namaku Hope, umurku 17 tahun. Lahir di London dan besar di Indonesia.
***
”Georgia O’Keeffe?”
Lagi-lagi aku mendengar nama asing. Mungkin telingaku sampai error kendati tak bisa mentransfer nama asing itu ke otak. Ah, ayolah Ayah aku tidak mengerti!.
“Ayah.. itu siapa lagi?” tanyaku kesal.
Ayahku hanya berlalu saja. Lalu, ia berhenti di bibir pintu.
“Ayah mau pergi menjual ini.”
Menunjuk barang-barang kuno yang dibawanya.
”Ayah akan menjualnya? Kenapa? Bukannya itu berharga untuk Ayah?”
Tanyaku tanpa jeda.
Lagi-lagi Ayah pergi begitu saja tanpa menjawab pertanyaanku.
Ya. Ayahku kolektor barang-barang kuno. Hobi aneh itu Ayah dapat ketika ia masih kecil. Kakek juga demikian. Entah karena ada hubungan keturunan atau bagaimana aku tidak paham. Lalu, bagaimana denganku? Aku berbeda dengan mereka. Aku menyukai seni, tetapi hanya sebatas hobi saja. Di kala senggang, aku dapat melukis lebih dari tiga objek. Namun, aku tidak pernah melukis manusia. Manusia itu terlalu rumit dan yang pasti bagiku semuanya terlihat identik dengan bentuk mata bulat atau bahkan persegi empat. Selain itu, tidak ada yang membuatnya terlihat menarik.
Pernah suatu hari, aku mendapati kejadian yang membuat mataku bekerja cukup keras. Hari itu dingin. Long john dan coat sebagai luarannya adalah gaya pakaianku hari itu. Dari Royal Wharf ke Tate Modern membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit. Tate Modern.
Tempat memanjakan mata bagi siapa saja yang memandang. Aku menghentikan langkahku tepat pada satu lukisan. Lukisan itu seakan-akan membiusku. Lukisan bunga berwarna putih dengan gaya pewarnaan yang cerah dan tajam. Semua itu merupakan karya dari Georgia O’Keeffe, seniman yang dimaksud Ayah. Semua karyanya bertajuk keindahan alam tanpa adanya manusia dalam setiap objek lukisannya. Hampir kurang lebih seratus karyanya dipajang dengan apik. Menakjubkan!.
“Permisi.”
Tubuhku tidak terasa hampir limbung. Tubuh seseorang entah sengaja atau tidak menabrakku cukup keras. Mataku tertuju pada sebuah benda yang mengkilap. Saat aku hampir terjatuh, pantulan seseorang di benda itu juga mengikuti gerakanku. Tanpa ku sadari, itu adalah diriku. Wujud. Tanpa terasa benda bening mengalir dari sudut mataku. Bagaimana tidak? Bertahun-tahun aku tidak pernah melihat wajah siapapun, bahkan wajahku sendiri sekalipun!
Namaku Hope. Harapan. Nama itu adalah doa bukan? Aku berharap arti nama itu berlaku juga bagiku. Sayangnya, aku bukan harapan untuk diriku dan juga untuk orang disekelilingku. Aku menderita penyakit langka yaitu Prosopagnosia. Penyakit ini menurun secara genetik dari Ibuku. Beliau sampai mengalami depresi parah dan masuk Rumah Sakit Jiwa. Entah berapa tahun lamanya aku tidak pernah bertemu Ibuku. Bukan aku yang tidak ingin, tapi Ayah yang selalu melarangku dengan alasan ‘Ibu perlu istirahat’,’Ayah sibuk’, dan masih banyak lagi alasan yang lain.
“Hope, kamu tunggu disini ya. Ibu pergi sebentar. Ini wafer coklat Ibu letakkan di sini. Makan ini kalau kamu lapar.”
“…kamu tutup mata dan hitung hingga seratus. Ibu akan datang diakhir hitunganmu. Kamu mengerti kan?.”
Aku hanya mengangguk dan mulai menutup mata.
Ia pergi. Meninggalkanku di depan sebuah komedi putar. Aku mulai menghitung hingga hitungan yang Ibu perintahkan. Tiba dihitunganku keseratus aku membuka mata dengan gambira dan berharap Ibu sudah kembali di hadapanku membawa kejutan. Namun sayang, berjam-jam aku menunggu pun Ibu tidak datang. Aku masih di tempat yang sama hingga hari
¹ Prosogpagnosia adalah penyakit yang mengakibatkan seseorang mengalami kesulitan mengenali wajah orang lain.
mulai malam. Aku yang berumur enam tahun kala itu tidak menangis sama sekali. Hatiku terus berkata: aku hanya perlu menunggu, tak apa aku akan menunggu sedikit lebih lama.
***
“Selamat pagi Hope!.” Sapa Tante Rosie, pemilik Toko Brick House Bakery.
Tidak bisa dipungkiri toko roti itu bertambah ramai setiap harinya. Semakin terkenal dengan penjualan roti andalan mereka, yaitu Roti Sourdough. Toko itu tadinya gudang barang-barang kuno dan sekarang telah disulap menjadi toko roti yang mengesankan.
“Bagaimana kabar Ibumu Hope?.” Tanya Tante Rosie basa-basi.
“Ah, Ibu baik-baik saja Tante.”
Hanya itu yang bisa ku jawab.
“Kamu sudah yakin untuk bekerja disini? Bukankah kamu sangat suka seni? Kamu bisa menyelesaikan studimu di sini kan?.”
“Tidak Tante, aku tidak minat lagi.”
“Karena penyakitmu? Kau takut di-bully lagi?” Tanyanya masih kurang puas.
Aku bergeleng. Sepertinya Ia paham. Ia tidak memperdulikanku. Berlalu sambil menepuk pundakku dua kali.
Aku tinggal di London sudah cukup lama. Tempat ini selalu menjadi alasanku kembali. Satu-satunya orang yang aku kenal di London ialah Tante Rosie. Dia orang yang paling peduli denganku di London, anggap saja Ia ibu keduaku. Kami tidak bersaudara, dia rekan sehobi Ayah. Ayahku sering bolak-balik London-Indonesia sejak aku kecil. Ia juga penggila barang-barang kuno seperti Ayah. Namun, Ia akhirnya menjualnya untuk modal usaha toko rotinya.
“Hope, bisakah kamu bersihkan gudang tua itu?”
Suara itu menghamburkan lamunanku.
“Baik Tante.”
“Jika kamu menemukan eemmm… benda-benda kuno seperti punya Ayahmu, berikan pada Tante.” Perintahnya kurang lancar.
Tak ku hiraukan kata-kata terakhirnya itu. Aku berlalu dengan membawa kemoceng berharap nanti akan beguna.
Kriieet
Ah, sial!. Ruangan ini sungguh tidak terawat. Penuh dengan sarang laba-laba. Tidak ada benda apapun disini. Bahkan benda yang dimaksud Tante Rosie tadi itu juga tidak ada.
Apa ini? Hanya ruangan kosong!
Sepertinya aku masuk jebakan tikus!
Tapi, tunggu. Aku melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang besar, menggantung di dinding, dan diselimuti kain putih.
Sreett
Tubuhku tersungkur. Aku menjatuhkannya tanpa memerdulikan kerasnya lantai. Aku mengenal tempat itu. Sebelas tahun yang lalu. Bocah yang memakai dress bermotif bunga dan rambut berkepang dua. Lugunya Ia menanti seseorang dengan ditemani wafer coklat kesukaannya. Tanpa merasa terbebani menutup mata dengan kedua tangannya dan menghitung hingga seratus. Waktu terasa terulang kembali. Seperti sang penjelajah mesin waktu, aku mampu mengingatnya dengan jelas. Pikiranku pun hanyut bersama memori monokrom. Itu lukisan yang amat realistis! Tertulis “My Little Hope-1986” oleh Evelyn Margaretha.
Aku menyeka air mataku. Tepat di sebelah lukisan itu terdapat kotak yang berisi kamera model lawas. Terdapat foto yang sama dengan lukisan itu. Orang yang berada tepat seratus meter di hadapanku, memotret diriku dengan kamera yang ada ditangannya.. Ibu tidaklah meninggalkanku kala itu. Ia menepati janjinya untuk datang hingga hitunganku yang ke seratus. Ia tersenyum. Lalu, jatuh ke tanah dan dikerumuni banyak orang.
-TAMAT-
Biodata Penulis
Nama Lengkap : Erina Yuliana Dewi
Email : erina.yulianadewi@gmail.com
Nomor HP/WhatsApp : 081 226 342 400
Fakultas/Jurusan : Sekolah Vokasi/D3 PWK 2018