Aku Ingin Kembali Seperti Dulu
Oleh : NN
Aku adalah seorang mahasiswa ilmu komputer. Sebuah jurusan yang mungkin kalian tebak penuh dengan logika matematika dan segudang fungsi-fungsi rumit di setiap barisnya. Tentu laptop menjadi senjata utama dalam pertempuran melawan tugas-tugas yang menyerbu. Namun, doktrin demikian tidaklah berlaku untuk seseorang, mungkin satu-satunya orang gila di jurusan itu. Orang itu adalah aku, Nashima, yang sama sekali tak memiliki perangkat laptop pendukung aktivitas kuliah. Bisa dibilang aku istimewa dalam mencari jalan keluar guna menyelesaikan tugas-tugasku (lihat saja perangaiku yakin ketika berbicara). Pertanyaannya, apa motivasiku mendaftar jurusan itu? Salah klik saat pendaftaran online PTN!
***
“Baiklah, untuk tugas minggu depan, lanjutkan pembuatan program kalkulator dengan bahasa pemrograman phyton. Kumpulkan ke e-mail saya.” Pesan dosen mengakhiri perkuliahan.
Seusai perkuliahan, aku segera menuju kos, menulis draf yang akan kuketik di tumpukan kertas. Ini menjadi tantangan tersendiri bagiku. Ketika teman-teman justru asyik streaming film, aku berjuang keras menuliskan fungsi-fungsi itu, berlembar-lembar. Ketika mereka menunda hingga hari deadline tiba, aku menuntaskan hari itu juga. Tanpa kusadari, keterbatasan memaksaku menjadi rajin.
“Yun, nanti sore ke kosmu ya bikin tugas program kalkulator tadi.” Demikian kuketik pada room chat.
“Tapi ntar aku copy paste ya.”
“Siiip deh.”
Pukul 16.22. Aku bergegas menuju kos Yunita. Bisa dibilang, Yunita adalah teman kelas yang paling sering kupinjam laptopnya untuk mengerjakan tugas. Hanya saja karakternya buruk, selalu copy paste tugas.
“Hei, aku di depan. Buka pintunya.” Teriakku sambil mengetok pintu tiga kali.
“Masuk saja, tidak dikunci kok.” Suaranya mengizinkan.
Seperti biasa, ia sedang tiduran sambil streaming film horor –genre kesukaannya. Tidak terlihat tugas apa pun yang sedang ia kerjakan. Sungguh pemalas!
“Pinjamkan laptopmu. Aku mau mengetik fungsi-fungsi ini.”
“Astaga, itu kan untuk minggu depan. Mengapa harus dikerjakan sekarang? Masih ada tujuh hari lagi untuk menyelesaikan, yang penting sekarang enjoy dulu.” Bicaranya santai sekali.
“Ya kan di kosku tidak ada laptop. Bagaimana mau bersenang-senang?” aku mendengus.
“Oh iya lupa. Yaudah kerjakan dulu tugasmu.” Ucapnya seraya beranjak dari kasur, memberiku tempat.
***
Perlu diakui, sulit sekali meminjam laptop kepada orang lain selain Yunita. Pernah suatu waktu, laptopnya rusak dan aku tak dapat meminjam. Parahnya, ia masih saja meminta copy paste hasil karyaku. Sungguh amat pemalas!
“Hai, Tamara. Bagaimana kabarmu?” Demikian chat basa-basi yang kukirimkan.
Lama. Satu jam berlalu barulah ia membalas.
“Kenapa?”
“Bolehkah aku meminjam laptopmu sebentar?” langsung pada intinya saja, aku malas merangkai kata.
Satu jam berlalu tanpa ‘read’, apalagi balasan. Padahal ia sedang online. Baiklah, sekarang chat Natasha.
“Halo, Nat. Bagaimana kabarmu?” masih dengan kalimat klasik.
“Maaf, jangan ganggu. Aku sedang fokus dengan karya ilmiah untuk lomba.”
Ah, tolakan halus. Kapan ia pernah ikut lomba? Mengerjakan tugas saja asal-asalan!
Tak kehabisan akal, aku memutuskan untuk berkunjung ke kedai fotokopi dan print di seberang gang. Di sana memang dilarang mengetik dokumen karena akan memperpanjang antrian. Namun, dengan jurus mengetik sepuluh jari –mau tak mau harus dikuasai– semua akan beres dalam hitungan menit.
Seperti biasa, kedai fotokopi sangat ramai pengunjung. Begitu melihat celah komputer kosong, secepat kilat aku menyusup di antara mereka, menguasai medan. Aku tahu, dalam hati mereka mengumpat, menyuruhku cepat. Tenang, paling lama lima menit, aku sudah angkat kaki.
***
Malam begitu memukau. Ribuan bintang bertabur acak. Tak lupa sang purnama turut menampakkan dirinya, menambah kesempurnaan langit malam. Aku duduk termenung di balkon kosan. Pikiranku tertuju pada satu hal, laptop baru. Apakah aku harus membelinya sekarang? Mungkin iya mungkin tidak. Iya, karena aku merasa merepotkan orang –terutama Yunita– yang hampir setiap hari kupinjam ‘alat perang’nya. Tidak, karena tabunganku tidak cukup (dan tidak pernah cukup) untuk membelinya. Oh Tuhan, andai aku tidak salah klik saat pendaftaran online.
Aku membayangkan diriku memiliki sebuah laptop. Kemudahan menyelesaikan tugas, bermain dengan fungsi-fungsi baru, membuat aplikasi sendiri dan menjualnya. Atau sekedar streaming dan bermain game. Ah, aku sangat ingin memiliki laptop!
Tiba-tiba smartphone-ku bergetar. Ada panggilan masuk dari Ayah.
“Halo, Nashima. Bagaimana keadaanmu? Ayah ada kabar baik sekaligus buruk untukmu.”
“Baik-baik saja. Kabar apa itu, Yah?”
“Mau dengar yang baik atau buruk dulu?” tawaran Ayah terdengar menggoda.
Aku berpikir sejenak. “Emmm…buruk deh.”
“Liburan semester nanti Ayah tidak memberimu kiriman uang untuk pulang. Jaga dirimu baik-baik di sana.”
Rasa penasaranku meningkat. “Yahhh sedih deh. Lalu, apa kabar baiknya, Yah?”
“Sebagai gantinya, Ayah sudah membeli laptop baru untukmu. Dua hari lagi paketnya akan dikirim ke kosmu.”
Aku terharu. Bibirku bergetar, tak mampu berucap. Angan-angan menjadi kenyataan.
“Halo, kau dengar Ayah?”
“Oh iya, Yah, maaf tadi kaget. Tapi mengapa Ayah menukar kesempatan pulangku dengan sebuah laptop?”
“Karena kamu lebih membutuhkannya. Ayah tahu, kamu mengharapkan kehadiran laptop sebagai fasilitas penunjang perkuliahan.”
Mataku berbinar. Ayah sangat mengerti isi hatiku selama ini.
“Hari sudah malam, kamu tidur sana.”
“Titip salam untuk Ibu dan Adik ya, Yah. Selamat tidur.” Aku mengakhiri.
Aku sempat tidak percaya. Apakah percakapan tadi nyata? Baru saja aku berandai-andai tentang laptop, dan dua hari lagi sebuah benda kotak impian akan datang ke pangkuanku. Sungguh fantastis!
“Mbak Nashima, ibu mau mengunci pintu. Ini sudah larut malam, ayo masuk.” Suara ibu kos membuyarkan fantasiku.
“Oh maaf, Bu, lupa waktu.” Aku bergegas masuk.
***
Hari kedatangan laptop sudah tiba. Aku menghambur, berlari secepat mungkin seusai kuliah. Berharap akan menemui kurir tersebut secara langsung. Oh Tuhan, akhirnya aku tak perlu mengungsi untuk mengerjakan tugas.
Sejak pukul 11.00 aku sudah siap di balkon. Sembari menunggu kurir datang, aku berburu foto di sekitar kosan. Ada lebah hinggap di antara bunga warna-warni, semut-semut berjuang mengangkat remah-remah makanan, burung bertengger di pohon sawo –semuanya indah untuk dijadikan objek foto.
“Permisi, Mbak. Ada paket, atas nama Nashima Rusdiyanto.” Seorang kurir menghampiri. Aku girang bukan main.
“Iya, Mas, saya sendiri.” Tanganku tak sabar hendak menyentuh paketnya.
“Silakan tanda tangan ya, Mbak.”
“Sudah. Terima kasih, Mas.”
Cepat-cepat aku masuk kamar, membuka berlapis-lapis bubble wrap pembungkus laptop baruku itu. Taraaa, kardusnya sudah tampak. Sebuah perangkat kotak seukuran laporan praktikum keluar dari sarangnya, langsung kunyalakan. Tanpa sadar, semua berlalu begitu cepat. Streaming, download aplikasi, browsing, bermain game, semua kujelajahi sampai larut malam.
***
“Sampai di sini pertemuan kita hari ini. Untuk tugasnya dikumpulkan minggu depan saat ujian semester.” Ucap dosen mengakhiri perkuliahan.
Hal yang kulakukan setiap pulang kuliah adalah berduaan dengan laptop baru. Sibuk mencoba seluruh fitur laptop layaknya orang kampungan. Bahkan tugas kuliahku justru tertunda –seperti mahasiswa lainnya.
Menjelang ujian semester, aku masih sibuk dengan laptopku. Hingga suatu saat ada chat masuk dari Yunita.
“Kok kamu nggak pernah mampir lagi ke sini?”
“Maaf, aku sedang sibuk.”
“Ayo belajar bareng. Tega banget kamu nggak ngajarin aku.”
“Salah sendiri nggak pernah bikin tugas!” Balasku mengakhiri.
Ia hanya me-read chat-ku. Aku tidak peduli, kulanjutkan momen indah bersama benda kesayanganku.
“Nashima, bolehkah aku copy paste tugasmu? Akan kumodifikasi sendiri. Kumohon, besok saat ujian harus dikumpulkan.”
Deg. Tugas itu benar-benar terlupakan.
“Oh tidak, aku lupa mengerjakan tugasnya. Terima kasih telah mengingatkan. Nanti setelah selesai akan kukirim via e-mail.”
Segera kubuka program application maker. Tunggu, tapi apa tugasnya? Aku tidak mencatat apa pun di buku.
“Yun, apa tugasnya?”
“Membuat sebuah program jual beli, yang memuat analisis pengeluaran, pemasukan, dan laba.”
“Terima kasih.”
Aku mengeluarkan seluruh catatan, tetapi tidak ada apa pun tertulis di situ. Apalagi tentang program jual beli. Oh Tuhan, apa yang harus kukerjakan? Bagaimana dengan ujianku besok?
“Yun, aku menyerah. Aku tidak mencatat selama kuliah. Bisakah kamu foto catatanmu?”
“Oh aku sudah dapat contekan dari Shela. Kamu mau?”
“Iya, tolong kirim ke e-mail-ku ya.”
Kupandangi lama inbox e-mail-ku, menunggu kiriman darinya. A new e-mail received. Kubuka file kiriman itu. Isinya ratusan baris fungsi-fungsi asing yang sama sekali tak kumengerti. Bagaimana bisa aku mengerjakan ujian jika tugas ini saja tidak paham?
***
Aku mencemaskan IP-ku. Depresi begitu menguasai pikiran, sampai-sampai aku tak ingin keluar kamar. Kali ini laptop itu kubiarkan mati, aku sedang tidak ingin diganggu. Oh Tuhan, jika seperti ini akhir ceritanya, aku lebih memilih untuk tidak pernah berjumpa dengan laptop. Biarlah aku kembali seperti dulu, gadis tangguh yang mampu melengkapi tugas-tugas tepat waktu walaupun tak ditemani fasilitas.
“Na, bagaimana nilaimu? Aku cumlaude lho.” Tulis Yunita.
Apa? Seorang yang tak pernah mengerjakan tugas bahkan meraih predikat cumlaude.
“Aku terlalu takut melihat nilai.” Tanganku gemetar.
“Buka, Yun. Semakin cepat kamu tahu, semakin cepat kamu memperbaiki diri.”
“Ya…”
Kuketikkan alamat web guna mengakses nilai via smartphone. Hasilnya sungguh membuatku shock.
“Na…”
“IP-ku terjun bebas, Yun.”
Aku menangis sejadinya. Menutup muka dengan bantal rapat-rapat. Benar-benar tidak tahu cara mengatakannya kepada Ayah. Laptop baru yang beliau kirimkan justru membawa petaka. Tidak, bukan laptopnya yang salah, melainkan aku yang tidak dapat mengontrol diri.
Tekadku sudah bulat. Hari ini juga, laptop itu harus berpindah tangan. Ya, dijual. Belakangan diriku sadar, semangat belajar akan tumbuh subur dalam kondisi tertekan. Belajar bersyukur adalah kunci kesuksesan, setidaknya itulah yang berusaha kutanamkan. Aku ingin kembali seperti dulu.